KONTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Oleh NURDI M.Pd*)
Paradigma pembangunan pendidikan dewasa ini telah bergeser dari pola teacher centered ke student centered learning, dari orientasi filosofis yang lebih menekankan dimensi obyektivis-positivis ke subyektivis-interpretif. Indikator yang memperkuat asumsi tersebut adalah: Pertama, digulirkannya kebijakan pemerintah tentang penerapan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan menengah atas, yang sejatinya keberadaan KTSP tersebut telah memberi peluang cukup signifikan terjadinya kreatifitas lokal (local genius) dalam pengembangan pembelajaran di sekolah, dengan tetap memperhatikan standar kompetensi keilmuan yang ditetapkan oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan); Kedua, sistem evaluasi pembelajaran yang harus dikembangkan guru adalah penilaian internal (internal assessment) yang terjelma dalam model penilaian kelas yang dilakukan melalui beragam cara, yaitu: penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap (afektif), penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil karya peserta didik (potofolio) dan penilaian diri (self assessment) Apabila mencermati arah perkembangan pendidikan di era transformasi Iptek dan globalisasi kehidupan dewasa ini, nampak bahwa proses pembelajaran di kelas harus mampu mengarah pada upaya membangun iklim belajar kompetitor, pembelajaran aktif kreatif efektif dan menyenangkan (PAKEM), pembelajaran yang mampu mendorong peserta didik menginternalisasi dan mentransformasi pengetahuan yang baru.
Pola strategi pembelajaran tersebut oleh para ahli sering disebut dengan pola pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme (Brooks & Brooks, 1999). Jadi, penguasaan pendekatan konstruktivisme oleh setiap guru dalam proses pembelajaran di kelas adalah suatu keharusan (keniscayaan) dalam rangka mengantarkan peserta didik mampu Mengembangkan potensi diri secara maksimal.
Untuk mempersiapkan guru sebagai pemimpin konstruktivis, perlu didesain program yang didasari oleh prinsip bahwa belajar untuk menjadi guru dapat dilakukan dengan refleksi, penyelidikan dan pengkonstruksian makna terus menerus sepanjang hidup bersama orang lain dalam komunitas belajar kolaboratif dengan pengelolaan konflik yang tepat.
Kata-kata Kunci: konstruktivisme, komunitas belajar, pemimpin konstruktivis, dialog, berpikir dan bertindak secara ekologis, kolegalitas, kolaborasi, perubahan sistemik, relasi, tanggung jawab, refleksi, penyelidikan, akuntabilitas, energi emosional, mutualitas, konflik, kerja sama.
Tekanan utama teori konstruktivisme adalah lebih memberikan tempat kepada siswa/subjek didik dalam proses pembelajaran dari kepada guru atau instruktur. Teori ini berpandangan bahwa siswa yang berinteraksi dengan berbagai obyek dan peristiwa sehingga mereka memperoleh dan memahami pola-pola penanganan terhadap objek dan peristiwa tersebut. Dengan demikian siswa sesungguhnya mampu membangun konseptualisasi dan pemecahan masalah mereka sendiri. Oleh karena itu kemandirian dan kemampuan berinisiatif dalam proses pembelajaran sangat didorong untuk dikembangkan.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri.
Para ahli konstruktivisme memandang bahwa belajar sebagai hasil dari konstruksi mental. Para siswa belajar dengan mencocokkan informasi baru yang mereka peroleh bersama-sama dengan apa yang telah mereka ketahui. Siswa akan dapat belajar dengan baik jika mereka mampu mengaktifkan konstruk pemahaman mereka sendiri.
Menurut para ahli konstruktivisme, belajara juga dipengaruhi oleh konteks, keyakinan , dan sikap siswa. Dalam proses pembelajaran para siswa didorong untuk menggali dan menemukan pemecahan masalah mereka sendiri serta mencoba untuk merumuskan gagasan-gagasan dan hipotesis. Mereka diberikan peluang dan kesempatan yang luas untuk membangun pengetahauan awal mereka.
Dalam perkembangannya terdapat pemikiran dalam teori konstruktivisme ini, namun semua berdasarkan pada asumsi dasar yang sama tentang belajar. Dan teori konstruktivisme yang utama dikenal dengan istilah konstruktivisme sosial (Social Constructivism) dan konstruktivisme kognitif (Cognitive Constructivism).
Akhir-ahkhir ini proses pembelajaran konstruktivisme didasarkan pada temuan-temuan penelitian mutahir tentang otak/pikiran manusia dan apa yang dikenal dengan bagaimana proses belajar terjadi.
Akhir-ahkhir ini proses pembelajaran konstruktivisme didasarkan pada temuan-temuan penelitian mutahir tentang otak/pikiran manusia dan apa yang dikenal dengan bagaimana proses belajar terjadi.
A. TEORI PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME
Akar filosofis pendekatan pembelajaran konstruktivisme adalah berorientasi pada filsafat idealisme, sedangkan pendekatan pembelajaran behavioristik atau obyektivis berakar pada positivisme. Konstruktivismeme (contructivisme) merupakan orientasi filosofis pendekatan konstektual (Zahorik, 1999; Sagala,2006). Teori konstruktivismetik dikembangkan oleh piaget pada pertengahan abad ke 20 (Sanjaya, W., 2007). Menurut Piaget, bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk sementara setelah itu dilupakan.
Mengkopstrusi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempurnaan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema. Secara lengkap teori konstruktivismetik penerapannya banyak dijumpai dalam strategi pembelajaran peningkatan kemampuan berpikir peserta didik atau menekankan pada keaktifan peserta didik (Sanjaya, W.,2007). Dalam prespektif historis, sebenarnya pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan pada student centered learning di kelas telah lama dikembangkan oleh John Dewey di Amerika. Ada beragam pendekatan yag sama-sama berorientasi peserta didik aktif, yaitu pendekatan discovery learning, pendekatan constectual teaching and lerning (CTL); dan pendekatan konstruktivisme (PK). Khusus tentang pendekatan kontrukstivis, adalah suatu jenis pendekatan pembelajaran yang lebih menekankan aspek keaktifan peserta didik dalam PBM. Pendekatan konstruktivisme ada sedikit kesamaan dengan pendekatan Discovery Learning (PDL), karena keduanya memandang peserta didik sebagai individu kreatif, inovator dan ilmuwan kecil, bedanya bila PDL memandang peserta didik berusaha untu menemukan pengetahuan yang sudah ada, sedangkan PK peserta didik berusaha untuk menemukan/membangun (construct) pengetahuan baru (Fachrurrazy, 2001). Konstruktivismeme berbeda dengan Behaviorisme dan Naturalisme, Behaviorisme menekankan keterampilan sebagai tujuan pengajaran, konstruktivismeme lebih menekankan perkembangan konsep dan pengertian yang mendalam, sedangkan Naturalisme lebih menekankan pengetahuan yang berkembang sesuai dengan langkah-langkah perkembangan kedewasaan. Konstruktivismeme lebih menekankan pengetahuan sebagai konstruksi aktif peserta didik (Suparno, 1997). Dalam teori Naturalisme, bila seseorang mengikuti tahap atau langkah-langkah perkembangan yang ada, dengan sendirinya ia akan menemukan pengetahuan yang makin lengkap. Sedangkan menurut Konstruktivismeme adalah, apabila seseorang tidak mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri secara aktif, meskipun ia berumur tua pengetauannya tetap tidak akan bisa berkembang (Solichan A, 2003). Proses pembelajaran yang berorientasi pada aliran behavioristik (yaitu teori yang mengagungkan pada pembentukan perilaku peserta didik penuih keteraturan, ketertiban, ketaatan dan kepastian) dianggap untuk era sekarang sudah tidak realistis (Degeng, 2000). Pendekatan pembelajaran yang relevan dengan kondisi tuntutan kehidupan era sekarang adalah pendekatan konstruktivisme. Menurut para ahli, bahwa PK dianggap relevan untuk menyiapkan dan membangun peserta didik memiliki kemampuan: (a) mengaitkan pengalaman, pengetahuan dan keyakina yang telah ada pada diri anak untuk menafsirkan obyek dan peristiwa baru; (Jonassen, 1991); (b) meningkatkan daya inkuiri dan inovasi peserta didik untuk menemukan pengetahuan baru; (c) menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, karena setiap peserta didik diberi kesempatan untuk ikut menentukan tujuan pembelajaran dan pengembangan ilmu (sebagai ilmuwan kecil); (d) membangun sikap mental kooperatif sesama peserta didik, karena pendekatan ini lebih banyak menuntut kerja kelompok; (e) membangun sikap mental peserta didik untuk tolerir, tidak eksklusif terhadap sudut pandang yang berbeda; dan (f) membangun sikap mental tanggap terhada persoalan baru, mudah memecahkan problem kekinian, karea proses pembelajarna lebih memberikan pengalaman belajar yang tidak terlepas dari kondisi time and space (Fachrurrazy, 2001).
B. KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Paradigma pembelajaran dengan gagasan tentang komunitas belajar (learning community) melihat peran penting konteks dalam pembelajaran. Menurut paradigma ini, pembelajaran terutama merupakan suatu usaha sosial dan tergantung pada konteks. Pembelajaran dilihat berkembang secara berbeda dalam tatanan yang berbeda dan dengan orang yang berbeda. Dalam pandangan ini, pembelajaran koperatif (cooperative learning), kurikulum yang terintegrasi, proyek-proyek komunitas dan unit-unit siswa dan guru yang lebih kecil muncul.
Paradigma ini dipengaruhi oleh konstruktivisme. Gagasan konstruktivisme dapat dilihat dari pandangan Marry Catherine Bateson yang menunjukkan bahwa manusia mengkonstruksi makna seperti laba-laba membuat jaringannya. Pembuatan makna merupakan suatu proses yang aktif di dalam otak manusia di mana jaringan kompleks yang menghubungkan gagasan yang satu dengan gagasan yang lain dikonstruksi dengan baik. Pemahaman tentang pembelajaran sebagai pembuatan makna dan bersifat relasional menjadi dasar pembelajaran konstruktivis.
Teori konstruktivis menyadari bahwa pembelajar masuk ke dalam sebuah pengalaman dengan sejarah, pengalaman, persepsi dan keyakinannya sendiri. Hal ini menimbulkan suatu interpretasi yang unik atas dunia. Pandangan pembelajaran konstruktivis seperti ini melihat fungsi mengajar sebagai fungsi untuk memediasi, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman yang baru dengan persepsi seseorang sebelumnya.
Pandangan konstruktivis ini dikembangkan oleh Piaget yang melihat bahwa seorang pembelajar menghadapi pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang baru dan ingin mengasimilasikannya ke dalam struktur kognitif yang ada. Piaget melihat seorang anak melangkah melalui tahapan-tahapan perkembangan sebagai seorang ilmuwan yang aktif yang berinteraksi dengan lingkungannya dan mengkonstruksikan teori tentang lingkungan mereka, merefleksikan dan berjuang dengan ketidakseimbangan dan menciptakan cara berpikir yang baru.
Pandangan Piaget mendapat dimensi baru dalam karya Jerome Bruner. Dia menekankan peran interaksi sosial, sejarah dan bahasa dalam proses pembelajaran. Pandangan yang hampir sama diungkapkan oleh Lev Vygotsky. Menurutnya, manusia mengkonstruksi makna dan pengetahuan bersama-sama dalam konteks kultur dan sejarah mereka. Pembelajar saling berinteraksi dalam situasi belajar bersama (cooperative learning), secara terus menerus menerima umpan balik informal atas pikiran mereka dan dirangsang oleh perspektif orang lain dan mendengar interpretasi yang bertentangan dengan suatu ide tertentu. Ketika pembelajar membangun pengertian atas apa yang mereka alami, hal itu disaring melalui norma-norma kultural dan pengalaman historis yang mempengaruhi kesimpulan mereka. Masing-masing interaksi seperti kelompok ide yang berbentuk spiral menantang dan membentuk pemikiran mereka selanjutnya. Vygotsky melihat bahwa pembelajaran tampak pertama-tama dalam level sosial dan kemudian pada level individual.
Bagi aliran konstruktivisme, guru tidak lagi menduduki tempat sebagai pemberi ilmu. Tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar. Namun guru lebih diposisikan sebagai fasiltator yang memfasilitasi siswa untuk dapat belajar dan mengkonstruksi pengetahuannya sendiri (Hudojo, 1998:5-6). Aliran ini lebih menekankan bagaimana siswa belajar bukan bagaimana guru mengajar.
Sebagai fasilitator guru bertanggung jawab terhadap kegiatan pembelajaran di kelas. Diantara tanggung jawab guru dalam pembelajaran adalah menstimulasi dan memotivasi siswa. Mendiagnosis dan mengatasi kesulitan siswa serta menyediakan pengalaman untuk menumbuhkan pemahaman siswa (Suherman dkk, 2001:76).
Oleh karena itu, guru harus menyediakan dan memberikan kesempatan sebanyak mungkin kepada siswa untuk belajar secara aktif. Sedemikian rupa sehingga para siswa dapat menciptakan, membangun, mendiskusikan, membandingkan, bekerja sama, dan melakukan eksperimentasi dalam kegiatan belajarnya (Setyosari, 1997: 53).
Memperhatikan uraian diatas, nampaknya pembelajaran dengan pendekatan problem posing sejalan dengan prinsip pembelajaran berparadigma konstruktivisme. Melalui pembelajaran dengan pendekatan problem posing, siswa bisa belajar aktif dan mandiri. Ia akan membagun pengetahuannya dari yang sederhana menuju pengetahuan yang kompleks. Dan dengan bantuan guru, siswa bisa diarahkan untuk mengaitkan suatu informasi dengan informasi yang lainnya sehingga terbentuk suatu pemahaman baru.
Wilson (1996:26) menyatakan bahwa aktivitas model pembelajaran konstruktivisme adalah:
a) mengobservasi,
b) menyusun interpretasi,
c) kontekstualisasi,
d) masa belajar keahlian kognitif, yaitu melakukan observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi dengan menggunakan permainan, guru memberikan contoh membaca, menonton permainan, atau memberikan penjelasan,
e) kolaborasi,
f) interpretasi ganda, yaitu interpretasi setelah berkolaborasi, dan
g) manifestasi ganda, yaitu memperoleh kemampuan berdasarkan interpretasi sebelumnya.
Ada sejumlah ciri-ciri proses pembelajaran yang sangat ditekankan oleh teori konstruktivisme, yaitu:
1) Menekankan pada proses belajar, bukan proses mengajar
2) Mendorong terjadinya kemandirian dan inisiatif belajara pada siswa
3) Memandang siswa sebagai pencipta kemauan dan tujuan yang ingin dicapai
4) Berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses, bukan menekan pada hasil
5) Mendorong siswa untuk melakukan penyelidikan
6) Mengharagai peranan pengalaman kritis dalam belajar
7) Mendorong berkembangnya rasa ingin tahu secara alami pada siswa
8) Penilaian belajar lebih menekankan pada kinerja dan pemahaman siswa
9) Berdasarkan proses belajarnya pada prinsip-prinsip toeri kognitif
10) Banyak menggunakan terminologi kognitif untuk menjelaskan proses pembelajaran, seperti prediksi, infernsi, kreasi, dan analisis
11) Menekankan bagaimana siswa belajar
12) Mendorong siswa untuk berpartisipasi aktif dalam dialog atau diskusi dengan siswa lain dan guru
13) Sangat mendukung terjadinya belajar kooperatif
14) Melibatkan siswa dalam situasi dunia nyata
15) Menekankan pentingnya konteks siswa dalam belajar
16) Memperhatikan keyakinan dan sikap siswa dalam belajar
17) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk membangun pengetahuan dan pemahaman baru yang didasarkan pada pengalaman nyata
Berdasarkan ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme tersebut di atas, berikut ini dipaparkan tentang penerapan di kelas.
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
1. Mendorong kemandirian dan inisiatif siswa dalam belajar
Dengan menghargai gagasa-gagasan atau pemikiran siswa serta mendorong siswa berpikir mandiri, berarti guru membantu siswa menemukan identitas intelektual mereka. Para siswa yang merumuskan pertanyaan-pertanyaan dan kemudian menganalisis serta menjawabnya berarti telah mengembangkan tanggung jawab terhadap proses belajar mereka sendiri serta menjadi pemecah masalah (problem solver)
2. Guru mengajukan pertanyaan terbuka dan memberikan kesempatan beberapa waktu kepada siswa untuk merespon
Berfikir reflektif memerlukan waktu yang cukup dan seringkali atas dasar gagasan-gagasan dan komentar orang lain. Cara-cara guru mengajukan pertanyaan dan cara siswa merespon atau menjawabnya akan mendorong siswa mampu membangun keberhasilan dalam melakukan penyelidikan
3. Mendorong siswa berpikir tingkat tinggi
Guru yang menerapkan proses pembelajaran konstruktivisme akan menantang para siswa untuk mampu menjangkau hal-hal yang berada di balik respon-respon faktual yang sederhana. Guru mendorong siswa untuk menghubungkan dan merangkum konsep-konsep melalui analisis, prediksi, justifikasi, dan mempertahankan gagasan-gagasan atau pemikirannya
4. Siswa terlibat secara aktif dalam dialog atau didkusi dengan guru dan siswa lainnya
Dialog dan diskusi yang merupakan interaksi sosial dalam kelas yang bersifat intensif sangat membantu siswa untuk mampu mengubah atau menguatkan gagasan-gagasannya. Jika mereka memiliki kesempatan untuk megemukakan apa yang mereka pikirkan dan mendengarkan gagasan-gagasan orang lain, maka mereka akan mampu membangun pengetahuannya sendiri yang didasarkan atas pemahaman mereka sendiri. Jika mereka merasa aman dan nyaman untuk mengemukakan gagasannya maka dialog yang sangat bermakna akan terjadi di kelas
5. Siswa terlibat dalam pengalaman yang menantang dan mendorong terjadinya diskusi
Jika diberi kesempatan untuk membuat berbagai macam prediksi, seringkali siswa menghasilkan berbagai hipotesis tentang fenomena alam ini. Guru yang menerapkan konstruktivisme dalam belajar memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk menguji hpotesis yang mereka buat, terutama melalu diskusi kelompok dan pengalaman nyata
6. Guru memberika data mentah, sumber-sumber utama, dan materi-materi interaktif
Proses pembelajaran yang menerapkan pendekatan konstruktivisme melibatkan para siswa dalam mengamati dan menganalisis fenomena alam dalam dunia nyata. Kemudian guru membantu para siswa untuk menghasilkan abstraksi atau pemikiran-pemikiran tentang fenomena-fenomena alam tersebut secara bersama-sama.
Pelaksanaan pembelajaran membaca pemahaman dengan pendekatan konstruktivisme perlu disesuaikan dengan fasilitas, pengetahuan, dan kemampuan serta sistem pendidikan yang berlaku. Hal itu terjadi karena pendekatan konstruktivisme menggunakan teori belajar konstruktivis dan prinsip pembelajarannya disesuaikan dengan situasi. Dalam hal ini, peserta didik akan dituntut aktif belajar, mengobservasi, menginterpretasi, berkolaborasi dan diusahakan mampu memahami sendiri wacana yang dibaca sesuai dengan skemata yang dimiliki dan perspektif yang dipakai untuk menginterpretasi bacaan tersebut.
C. PENERAPAN KONSTRUKTIVISME DALAM PMB KTSP
Ada beberapa alternatif pilihan atau langkah strategis yang dapat dilakukanoleh setiap guru untuk menerapkan pendekatan konstruktivisme (PK) dalam PBM KTSP, antara lain: sebelum menerapkan PK dalam PBM setiap guru harus memahami betul ciri-ciri pembelajaran yang menggunakan PK. Menurut Car dkk, dalam Fachrurrazy (2001) ciri-ciri pembelajaran dengan PK adalah:
1. Peserta didik lebih aktif dalam proses belajar karena fokus belajar mereka pada proses integrasi pengetahuan yang baru dengan pengalaman, pengetahuan mereka yang telah ada dalam pikirannya;
2. setiap pandangan yang berbeda akan dihargai dan diperlukan. Peserta didik didorong untuk menemukan berbagai kemungkinan jawaban dalam mensintesiskan secara terintegrasi;
3. proses pembelajaran harus mendorong adanya kerjasama, tapi bukan untuk bersaing secara negatif. Proses belajar melalui kerjasama memungkinkan peserta didik untuk mengingat pelajaran lebih lama
4. kontrol kecepatan dan fokus pelajaran ada pada peserta didik. Cara ini akan lebih memberdayakan peserta didik lebih dinamik inovatif, dan
5. pendekatan konstruktivisme memberikan pengakuan belajar yang tidak terlepas dari konteks dunia nyata peserta didik.
Agar mampu mewujudkan kelima ciri tersebut, maka setiap guru harus terus membangun kualitas pemahaman disiplin ilmu yang diampu baik secara tekstual maupun kontekstual, karena posisi guru dalam PK adalah mediator selama PBM. Melihat realitas empirik, nampak masih begitu banyak guru –guru yang belum secara maksimal melakukan pengembangan kompetensi profesionalnya. Olehnya itu dalam era KTSP sekarang ini setiap guru harus punya komitmen yang kokoh untuk terus meningkatkan kualitas kompetensi prosefi atau akademiknya (insan pengembang Iptek). Setelah guru memahami ciri-ciri pembelajaran konstruktivisme, kemudian guru menerapkannya dalam proses pembelajaran di kelas, dengan memperhatikan karakteristik materi pembelajaran yang cocok untuk pendekatan pembelajaran konstruktivisme.
Menurut Brook & Brook (1999), bahwa ciri sikap dan perilaku guru yang menerapkan pendekatan konstruktivisme dalam PBM adalah:
1) guru menganjurkan dan menerima otonomi dan inisiatif peserta didik dalam memahami, menginterpretasi materi pelajaran
2) guru menggunakan data primer dan bahan manipulative dengan penekanan pada ketrampilan berpikir kritis peserta didik
3) ketika penyusunan tugas-tugas materi pelajaran, guru memakai istilah-istilah kognitif seperti: klasifikansikanlah; analisilah; ramalkanlah; dan ciptakanlah
4) guru menyertakan respons peserta didik dalam rangka pengendalian pelajaran, mengubah strategi pembelajaran dan mengubah isi materi pelajaran
5) guru menggali pemahaman, pengetahuan atau pengalaman peserta didik tentang konsep-konsep yang akan dibelajarkan sebelum konsep-konsep baru tentang materi pelajaran yang akan dikaji
6) guru menyediakan kondisi pembelajaran di kelas yang konmdusif agar peserta didik dapar berdiskusi dengan baik dengan dirinya maupun dengan peserta didik yang lain untuk memecahkan permasalahan
7) guru mendorong sikap inkuiri peserta didik dengan menanyakan sesuatu yang menuntut berpikir kritis-sistematis, menggunakan pertanyaan-pertanyaan terbuka, dan mendorong peserta didik agar berdiskusi antar teman
8) guru mengolaborasi respon awal peserta didik atau guru sebagai mediator pemikiran-pemikiran peserta didik yang konstruktif
9) guru mengikutsertakan peserta didik dalam pengalaman-pengalaman yang dapat menimbulkan kontradiksi terhadap hipotesis awal mereka dan kemudian mendorong untuk mendiskusikan sesama teman dan memecahkannya
10) guru menyediakan waktu tunggu bagi peserta didik untuk memecahkan beberapa pertanyaan atau problem yang diajukan
11) guru menyediakan waktu untuk peserta didik dalam mengkontruksi hubungan-hubungan dan menciptakan analogi atau kiasan-kiasan; dan
12) guru memelihara sikap keingintahuan alamiah peserta didik melalui peningkatan frekuensi pemakaian model siklus belajar.
Dalam penerapan dua belas ciri pembelajaran konstruktivisme di atas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh guru, yaitu: (a) guru berusaha mencari pandangan/pendapat peserta didik dan membuatnya sebagai titik tolak untuk memulai pelajaran. Guru tidak boleh otoriter dalam menentukan topik pelajaran; (b) guru mengarahkan kegiatan belajar untuk menantang apa yang menjadi keyakinan peserta didik; (c) guru dalam menyajikan pelajaran memunculkan problem yang baru dan relevan bagi peserta didik; (d) guru dalam merancang pembelajaran (RPP) mulai dari konsep dasar dan ide dasar, bukan bagian-bagian kecil yang terpisah satu sama lain; (e) guru memberikan penilaian hasil belajar peserta didik dalam konteks proses belajar, menggunakan pola penilaian internal (internal assessment); dan (f) guru harus tetap tanpa henti membangun kualitas akademiknya, membangun semangat menyelidik dan meneliti (sense of inquiry dan sense of research), serta guru selalu berkaca diri yang menyangkut self concept, self idea, dan self reality (Satori, dkk, 2007). Tanpa upaya diri untuk terus membangun kualitas akademik, kepribadian dan sosialnya, sulit seorang guru menjadi mediator yang baik dalam pembelajaran konstruktivisme. Poin keenam ini mejadi kunci keberhasilan pembelajaran konstruktivisme, sebab bagaimana mungkin pembelajaran konstruktivisme akan bisa berhasil apabila gurunya sendiri wawasan keilmuannya tidak berkualitas, tidak multidimensi dan tidak prospektif.
D. GURU SEBAGAI PEMIMPIN KONSTRUKTIVISME
Pembelajaran yang menghasilkan perkembangan komunitas belajar yang mempunyai tujuan difasilitasi oleh guru sebagai seorang pemimpin konstruktivis. Dalam kepemimpinan seperti ini, kita belajar dalam suatu model konstruktivis. Dalam model ini, kita mulai dengan tujuan, keyakinan, asumsi dan pengalaman. Kita mendasarkan diri kita sendiri pada siapa diri kita dan memperhatikan tempat di mana kita berada, sehingga kita bersama-sama dapat menemukan cara berada yang baru. Di sini, seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis memfasilitasi proses pembelajaran yang memungkinkan partisipan dalam suatu komunitas untuk mengkonstruksikan makna bersama-sama yang mengarah pada tujuan pembelajaran yang di-shared. Hal ini terlaksana dalam proses pembelajaran partisipatori.
Dalam proses belajar partisipatori, kepemimpinan dapat dilaksanakan oleh semua partisipan secara fair dengan tanggung jawab yang di-shared. Setiap partisipan mempunyai kesempatan untuk membentuk perilaku pemimpin yang menguntungkan komunitas secara keseluruhan. Di sini terlaksana proses yang saling menguntungkan yang dapat menyebabkan pembelajaran dan membangun komunitas belajar. Proses yang saling menguntungkan dapat terjadi jika setiap partisipan saling mendengarkan, memberi dan menerima dalam posisi yang setara dan saling belajar satu sama lain. Relasi sedemikian menuntut suatu kapasitas untuk memperhatikan diri sendiri dan sesama, serta memahami bahwa perkembangan diri dan orang lain saling berhubungan. Dalam relasi ini ada kesadaran untuk menyampaikan kepada orang lain apa yang diketahui dan keterbukaan untuk menerima pengetahuan yang baru yang tidak diketahui sebelumnya dari orang lain.
Dalam proses belajar yang saling menguntungkan ini, guru sebagai pemimpin konstruktivis mengingatkan partisipan akan potensi manusia yang dibangun dari berbagai memori, pengalaman, persepsi, pengetahuan terdahulu, asumsi dan keyakinan yang membentuk diri manusia dalam lingkungan dipercaya. Kepemimpinan seperti ini merekonstruksi asumsi-asumsi yang lama dan mitos-mitos dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dan mitos-mitos tersebut. Pertanyaan ini dapat mengarahkan partisipan pada penemuan informasi yang baru atau berbeda dengan memeriksa kembali penafsiran atas pengalaman terdahulu. Kepemimpinan seperti ini juga berfokus pada pengkonstruksian makna. Berdasarkan pengkonstruksian makna tersebut, partisipan akan membangun kerangka tindakan yang mewujudkan perilaku yang baru.
Munculnya perilaku yang baru terjadi ketika elemen-elemen hubungan partisipan memungkinkan partisipan untuk belajar bersama. Ketika partisipan memasuki dialog bersama-sama, dan secara kolektif merefleksikan pekerjaan mereka, mereka mengingat potensi mereka sendiri dan melihat dirinya sebagai bagian dari komunitas yang menemukan dan memecahkan masalah bersama-sama.
Agar proses pembelajaran yang saling menguntungkan dapat difasilitasi dengan baik, seorang pemimpin harus mengembangkan perspektif yang mencakup seluruh komunitas sekolah. Dia juga harus sadar akan adanya proses perubahan. Kesadaran itu menuntut suatu pemahaman akan dinamika sistem. Dalam kesadaran itu, dia harus mampu untuk memahami hubungan antara guru dan ruang kelas mereka dengan sistem pendidikan yang lebih luas.
Untuk mengembangkan kemampuan ini, sebagai pemimpin, dia harus berpikir dan bertindak secara ekologis. Maksudnya, dia harus berpikir bahwa sekolah dan ruang kelas merupakan tempat di mana anak-anak dan orang dewasa ada bersama-sama. Sebagaimana sistem ekologis, di sini eksistensi dan pola hubungan mereka antara lain dipengaruhi oleh bangunan sekolah, sumberdaya yang dialokasikan di sekolah tersebut, ekonomi komunitas dan berbagai macam kebudayaan di dalamnya, pengaruh pendatang-pendatang baru,dan hukum-hukum yang baru. Dalam perspektif ekologis, mereka melihat keseluruhan sistem daripada bagian-bagian individual. Hal ini mengarah pada hubungan salingketergantungan dan menekankan kerjasama dan menghapus kompetisi.
Tindakan ekologis seorang pemimpin diwarnai oleh kultur kolegalitas. Kultur tersebut terlihat dalam komunikasi yang hangat dan terbuka, di mana setiap orang berani mengungkapkan ketidaksetujuannya. Mereka juga menganggap bahwa kerjasama dan kolaborasi dengan yang lain dengan sikap saling menghormati sebagai suatu nilai yang tertinggi.
Ada beberapa sikap dan tindakan yang diharapkan dari seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis. Pertama, dia harus memiliki pemahaman akan nilai-nilai eksplisit dan kepercayaan yang menjadi dasar pembangunan hubungan itu. Kedua, dia harus memiliki keahlian untuk memfasilitasi dialog tentang pengajaran dan pembelajaran sebagai dasar untuk mengkonstruksi makna. Ketiga, dia harus memahami teori belajar konstruktivis dan menerapkannya dalam praktik mengajar mereka di kelas dan dalam interaksi kolegial yang membangun komunitas belajar. Keempat, dia harus mempunyai pemahaman yang mendalam tentang perubahan sistemik dan transisi supaya dia dapat menjalankan fungsinya sebagai fasilitator perubahan, yang mendukung dan mengimplementasi perbaikan terus-menerus. Kelima, dia harus mempunyai pemahaman akan konteks sejarah dan kebudayaan komunitas mereka untuk membangun norma dan kolegalitas. Keenam, dia harus memiliki identitas personal yang berani menerima resiko dengan kebutuhan ego yang rendah untuk mendukung dan memfasilitasi komunitas belajar.
Dalam komunitas belajar, pemimpin konstruktivis membangun kondisi dimana para partisipannya menjadi sahabat dengan sesamanya. Dalam kondisi ini mereka saling berdialog. Dalam dialog itu, ada proses saling membagi perhatian dan kepentingan. Hal ini dibangun dalam kekuatan relasi dan tanggung jawab pada komunitas. Kekuatan ini mendorong mereka menuju perubahan yang abadi dan sistemik dalam proses pembelajaran dalam komunitas belajar.
Bagian vital dari komunitas belajar itu adalah peran guru sebagai guru kelas, serta pengembang kurikulum dan sistem penilaian. Peran ini dapat dilaksanakan oleh guru sebagai pemimpin konstruktivis dengan mencari strategi dan pendekatan yang tepat dengan melibatkan siswanya dan koleganya. Di dalam kelas, mereka dapat meminta siswa untuk mengeksplorasi dan mengungkapkan titik pandang, persepsi, atau pemahaman mereka tentang suatu konsep. Bersama dengan anggota komunitas yang lain dan orang tua siswa, mereka dapat bekerja sama untuk mendefinisikan tujuan pembelajaran dan sistem penilaian, dan membuat keputusan tentang kurikulum berdasarkan pada tujuan tersebut. Pembuatan keputusan secara kolektif ini merupakan suatu perubahan dari lingkungan di mana kerangka kerja sudah disusun dan terstandarisasi serta sistem penilaian tunggal yang digunakan untuk mengukur keberhasilan seseorang. Dengan ini keberhasilan siswa dapat dilihat dari berbagai perspektif. Hal ini tentu sangat menguntungkan siswa dan dapat membantu komunitas belajar untuk menemukan cara yang benar-benar untuk meningkatkan kompetensi siswa sesuai dengan kebutuhan siswa. Untuk mencapai tujuan ini, guru sebagai pemimpin konstruktivis harus mendukung kebijakan, praktik dan kolaborasi yang membantu anggota komunitas untuk mengaktualisasikan dirinya dan dihargai sebagai individual.
Semua usaha untuk membangun dan mempertahan komunitas belajar dapat dilakukan oleh guru sebagai pemimpin konstruktivis dengan menggunakan pedoman-pedoman berikut.
1) Merencanakan waktu pembelajaran yang profesional untuk melayani orang lain dan sekaligus mempertahankan hubungan kerjasama dengan sesama guru dan siswa. Dalam kerjasama ini guru melihat siswa sebagai pribadi yang otonom, berinsiatif
2) Mengembangkan struktur yang fokus pada tujuan atau isu yang ada, mempunyai ekspektasi dan peran yang jelas, memberikan perhatian yang substansif pada dialog, refleksi dan penemuan pengetahuan, serta mempunyai ekspektasi bahwa struktur akan berubah ketika pekerjaan dilakukan.
3) Mengembangkan struktur manajemen yang memungkinkan keputusan bersama (shared-decision) dapat diambil.
4) Menyusun pertemuan seluruh kelompok untuk membicarakan, menemukan dan mengkonstruksi makna yang baru dalam usaha untuk menciptakan kultur sekolah yang positip dan komunitas belajar. Dalam hal ini guru menggunakan terminologi kognitif seperti pengklasifikasian, prediksi, analisis, interpretasi, dan penciptaan pemahaman baru
5) Melibatkan pandangan-pandangan yang berbeda dalam setiap struktur karena hubungan dan koneksitas antara elemen-elemen yang berbeda dalam komuitas merupakan salah satu strategi yang penting dari ekosistem dan kehidupan.
6) Mengembangkan profesionalisme dari organisasi profesional dengan membangun kesadaran bahwa guru merupakan suatu profesi dan membangun hubungan yang matang serta membagi tanggungjawab di kalangan guru.
7) Mendesain struktur-struktur akuntabilitas yang memungkin mereka untuk mengetahui apakah rencana mereka dapat dilaksanakan atau tidak. Dalam struktur akuntabilitas, siklus pembelajaran diwujudkan melalui refleksi dan penyelidikan (inquiry).
Ketujuh pedoman ini sangat membantu dalam mengembangkan struktur-struktur yang akan memperdalam dan memperluas relasi kepemimpinan dan pembelajaran serta kolegalitas di sekolah.
E. KEKUASAAN DALAM KEPEMIMPINAN KONSTRUKTIVISME
Kekuasaan dalam kepemimpinan konstruktivis bukanlah kekuasaan dalam arti negatip seperti kekuasaan untuk mendominasi dan mengeksploitasi orang lain. Kekuasaan yang dimaksudkan di sini adalah kekuasaan dalam arti positip, yakni kekuasaan sebagai sarana untuk menciptakan dan mewujudkan visi dan tujuan kolektif bersama dengan orang lain.
Ada lima elemen kekuasaan. Pertama, energi emosional dalam bentuk keinginan untuk menggunakan emosi secara jujur dan terbuka dalam pekerjaan mereka dengan guru yang lain, siswa dan komunitas. Kedua, kemampuan untuk memelihara pembelajaran dan perkembangan. Ketiga, dialog satu sama lain di mana setiap orang saling mendengarkan titik pandang mereka. Keempat, mutualitas yang dipertimbangkan dalam refleksi yang digunakan dalam mengambil keputusan. Kelima, perubahan kolaboratif yang melibatkan orang lain dalam transformasi sekolah. Elemen-elemen kekuasaan itu terwujud dalam berbagai bentuk kekuasaan. Bentuk-bentuk kekuasaan itu antara lain terlihat dari autoritas yang melekat pada posisi dalam organisasi, kemampuan untuk menguasai informasi, wewenang untuk mengontrol pekerjaan dan ganjaran yang dihasilkannya, kekuasaan koersif, kekuasaan untuk menjalin kerjasama dan jaringan kerja, kemampuan untuk mengontrol agenda organisasi, kekuasaan untuk mengontrol nilai-nilai yang diyakini oleh organisasi, dan kekuasaan pribadi yang mencakup karisma, keahlian, visi dan keutamaan yang melekat dalam pribadi seseorang.
Elemen-elemen dan bentuk-bentuk kekuasaan ini digunakan di dalam sekolah oleh seorang guru sebagai pemimpin konstruktivis dalam tujuh ranah kekuasaan untuk menciptakan kondisi bagi perubahan yang sistemik.
Ranah pertama adalah kekuasaan dalam kerjasama dan jaringan kerja. Kekuasaan ini dibangun dalam kerjasama dan jaringan kerja yang didesain secara ekologis di kalangan orang-orang yang memiliki kompetensi yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi di sekolah. Kerjasama dan jaringan ini menjadi energi yang hidup bagi organisasi sekolah.
Ranah kedua adalah kekuasaan dalam tanggungjawab pribadi. Tanggung jawab pribadi mencakup energi emosional dan kekuasaan pribadi. Tanggung jawab pribadi digunakan oleh seorang pemimpin konstruktivis untuk mencapai tujuan yang ditetapkan bersama orang lain. Mereka saling bersinergi untuk mengembangkan organisasi dan meningkatkan kesempatan bagi pembaharuan diri partisipan secara individual.
Ranah ketiga adalah kekuasaan dalam memelihara hubungan dan perkembangan dengan orang lain. Hal ini terwujud dalam peran guru sebagai pemimpin konstruktivis bersama guru yang lain sebagai otonomi kolektif untuk menentukan tujuan umum dan bekerja sebagai kolega untuk mencapai tujuan sekolah. Kekuasaan ini semakin jelas terlihat ketika mereka mendesain dan memfasilitasi kesempatan di mana para partisipan bekerja sama untuk belajar dan mengembangkan diri dan membangun pengetahuan khusus dan keahlian mereka.
Ranah keempat adalah kekuasaan dalam informasi dan pengetahuan khusus. Kekuasaan ini dibagi dalam dialog di mana terjadi pertukaran pengetahuan dan informasi. Di sini terjadi pembelajaran yang saling menguntungkan dan perkembangan makna. Kekuasaan yang dimiliki oleh seorang pemimpin konstruktivis ini berguna untuk membangun dan mempertahankan organisasi yang sehat. Organisasi yang sehat dapat menghadapi secara positip berbagai macam pengaruh lingkungannya.
Ranah kelima adalah kekuasaan untuk melihat keseluruhan dan bagian-bagian. Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis ketika ia dapat melihat berbagai titik pandang yang diungkapkan dalam interaksi para partisipan satu sama lain dalam sistem dan merefleksikannya kembali dalam organisasi. Di sini seorang pemimpin konstruktivis memenuhi kebutuhan organisasi akan makna dan pemahaman kolektif atas keseluruhan sistem dan sekaligus memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mengidentifikasi peran mereka dalam keseluruhan sistem.
Ranah kelima adalah kekuasaan untuk melihat keseluruhan dan bagian-bagian. Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis ketika ia dapat melihat berbagai titik pandang yang diungkapkan dalam interaksi para partisipan satu sama lain dalam sistem dan merefleksikannya kembali dalam organisasi. Di sini seorang pemimpin konstruktivis memenuhi kebutuhan organisasi akan makna dan pemahaman kolektif atas keseluruhan sistem dan sekaligus memberi kesempatan kepada setiap individu untuk mengidentifikasi peran mereka dalam keseluruhan sistem.
Ranah keenam adalah kekuasaan dalam status dan posisi di sekolah. Seorang pemimpin konstruktivis yang mempunyai status dan posisi di kelas dan sekolah, baik sebagai kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, dan konselor dapat mengunakan status dan posisi tersebut untuk memperoleh perhatian dari orang lain dan menyediakan waktu dan ruang untuk keterlibatan mereka dalam komunitas belajar.
Ranah ketujuh adalah kekuasaan dalam membangun kerjasama. Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis dengan menunjukkan kemampuan untuk fleksibel, menghadapi konflik, mempertahankan fokus pada tujuan bersama, membagi tanggungjawab dan mencari konsensus dalam kerjasama dengan orang lain.
Ranah ketujuh adalah kekuasaan dalam membangun kerjasama. Kekuasaan ini diperlihatkan oleh seorang pemimpin konstruktivis dengan menunjukkan kemampuan untuk fleksibel, menghadapi konflik, mempertahankan fokus pada tujuan bersama, membagi tanggungjawab dan mencari konsensus dalam kerjasama dengan orang lain.
F. PRINSIP-PRINSIP DALAM PENGEMBANGAN GURU SEBAGAI PEMIMPIN KONSTRUKTIVISME
Untuk mempersiapkan guru sebagai pemimpin konstruktivis, perlu didesain program yang tepat. Program ini dikembangkan dalam konteks perubahan. Ada beberapa prinsip yang harus mendasari program ini. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.
a. Belajar untuk menjadi guru merupakan proses sepanjang hidup.
b. Refleksi dan penyelidikan makna (inquiry) merupakan metode belajar guru. Proses ini melibatkan guru dalam menguji praktik mengajar mereka dan mengkonstruksikan pengetahuan yang baru yang akan menuntun pekerjaan mereka kelak.
c. Guru harus merefleksikan pengalaman masa lalu, sekarang dan masa depan mereka di sekolah. Belajar untuk melihat pengalaman sebagai isi refleksi guru merupakan bagian penting dari perkembangan profesi mereka.
d. Guru membutuhkan waktu dan kesempatan untuk merefleksikan pekerjaan mereka, masalah-masalah yag terjadi di sekolah dan kerja sama mereka dengan orang lain dalam mengkonstruksi makna.
e. Untuk mengkonstruksikan makna dalam konteks kolaboratif, guru membutuhkan kesempatan untuk berbicara dan mendengar, serta menanggapi pikiran dan keyakinan orang lain.
f. Grup belajar kolaboratif harus dibangun untuk menggabungkan berbagai perspektif karena perbedaan akan memperluas kesempatan untuk belajar dan merefleksikan dengan lebih baik dunia yang sangat kompleks.
g. Konflik merupakan hasil struktur kolaboratif yang dapat mengembangkan pembelajaran karena konflik dapat mendorong orang untuk memperluas pemahaman mereka dan menciptakan kerjasama di atas konflik yang benar-benar menguntungkan setiap orang.
h. Berdasarkan masalah-masalah yang dihadapi, kelompok belajar kolaboratif harus mengakomodasi perubahan konfigurasi kepemimpinan.
Suparno (1997:49) menyatakan bahwa prinsip-prinsip konstruktivisme dalam belajar adalah:
a. pengetahuan dibangun oleh peserta didik sendiri, baik secara personal maupun sosial,
b. pengetahuan tidak dapat dipindahkan dari guru ke peserta didik, kecuali hanya dengan keaktifan peserta didik sendiri untuk menalar,
c. peserta didik aktif mengkonstruksi terus-menerus, sehingga terjadi perubahan konsep menuju ke konsep yang lebih rinci, lengkap, serta sesuai dengan konsep ilmiah, dan
d. guru membantu menyediakan sarana dan situasi agar proses konstruksi peserta didik berjalan mulus. Dalam
KESIMPULAN
Teori konstruktivis menyadari bahwa pembelajar masuk ke dalam sebuah pengalaman dengan sejarah, pengalaman, persepsi dan keyakinannya sendiri. Hal ini menimbulkan suatu interpretasi yang unik atas dunia. Pandangan pembelajaran konstruktivis seperti ini melihat fungsi mengajar sebagai fungsi untuk memediasi, dan menghubungkan pengalaman-pengalaman yang baru dengan persepsi seseorang sebelumnya.
Menurut Piaget, bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memiliki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subyek, maka akan menjadi pengetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengetahuan tersebut hanya untuk sementara setelah itu dilupakan.
Wilson (1996:26) menyatakan bahwa aktivitas model pembelajaran konstruktivisme adalah:
a. mengobservasi,
b. menyusun interpretasi,
c. kontekstualisasi,
d. masa belajar keahlian kognitif, yaitu melakukan observasi, interpretasi, dan kontekstualisasi dengan menggunakan permainan, guru memberikan contoh membaca, menonton permainan, atau memberikan penjelasan,
e. kolaborasi,
f. interpretasi ganda, yaitu interpretasi setelah berkolaborasi, dan
g. manifestasi ganda, yaitu memperoleh kemampuan berdasarkan interpretasi sebelumnya.
Konstruktivisme ini terlepas dari peran seorang guru sebagai penggerak dan pemimpin konstruktivisme. Dalam hal ini guru memberikan banyak kesempatan bagi siswa untuk bertindak secara aktif dalam proses pembelajaran. Dan dalam konstruktivisme ini tidak ada kata mengajar, akan tetapi sama-sama belajar. Karena ada kalanya seorang guru juga masih belajar dalam memahami, dan menelaah materi yang akan disampaikan kepada siswa, dan juga tidak sedikit guru yang dapat menemukan banyak hal dari seorang siswa. Jadi dalam konstruktivisme ini tidak ada kata mengajar, tetapi saling belajar guna mencapai tujuan pembelajaran.
*) Alumni Pasca UIN Malang
Sekaligus Dosen STIT AlFattah
0 komentar:
Posting Komentar